Promosi Doktor ke 33 Drs. Setyo Budi, M.Sn.
Senin, 23 Januari 2017pukul 10.00– 12.30 WIB Pascasarjana ISI Yogyakarta menggelar Ujian Terbuka Drs. Setyo Budi, M.Sn. Sidang diketuai oleh Prof. Dr. Djohan, M.Si. , Prof. Drs. SP. Gustami, SU., sebagai Promotor, Dr. G. Budi Subanar, SJ. Kopromotor, dan Dewan Penguji PProf. Dr. M. Agus Burhan, M.Hum., Prof. Dr. Kasidi Hadiprayitno, M.Hum, Prof. Drs. M. Dwi Marianto, M.F.A., Ph.D., Dr. Suastiwi, M.Des, Dr. H. Suwarno Wisetrotomo, M.Hum., Dr. Lono , Lastoro Simatupang, M.A., Saudara Drs. Setyo Budi, M.Sn. berhasil mempertahankan Disertasi yang berjudul Enam Motif Batik Klasik dan Satu Lurik Dalam Sistem Nilai Ritual Mitoni Masyarakat Surakarta di hadapan Dewan Penguji sehingga lulus dengan predikat “Sangat Memuaskan” dan menjadi Doktor ke 33 dari PPs ISI Yogyakarta. dan merupakan Doktor di bidang Pengkajian Seni ke 13 dari PPs ISI Yogyakarta.
Budaya Jawa adalah salah satu puncak eksotika peradaban manusia; dibangun dari berbagai faham dan keyakinan pendatang, berpadu dengan potensi lokal yang animistis dan dinamistis. Manusia Jawa secara naluriah, berkembang bukan hanya berdasar apa yang dipikirkan, melainkan juga yang dirasakan. Memformulasi sekian banyak ajaran dengan konteks kealaman yang bermuara pada Kêjawèn, menuntunnya membangun “alam pikiran” yang lebih cenderung sebagai “alam rasa”.
Surakarta adalah wilayah budaya yang memiliki ikatan psiko-historikal dengan perjalanan kebudayaan Jawa. Pada masa kejayaannya dalam bentuk keraton, menghantarkan budaya Jawa mencapai puncak keemasan, ditandai dengan beberapa produk budayanya di kemudian hari disebut seni klasik. Seiring dengan kedatangan pola pikir Barat, masyarakat Jawa belajar banyak tentang strategi sosial dalam kepentingan ekonomi. Eksploitasi alam ajaran Feodalisme menumbuhkan perilaku baru untuk hidup dalam tatanan feodalistik agraris. Masyarakat Surakarta di dalam kehidupannya yang sekarang, adalah masyarakat transisi yang hidup di alam modern tetapi tetap berpegang pada sebagian besar nilai-nilai lama. Beberapa jenis ritual dan upacara lama, tetap hidup dan berkembang hingga sekarang menjadi aktivitas tradisi dalam proses adaptasi evolutif.
Mitoni adalah ritual tradisi lama Jawa untuk slamêtan pra-kelahiran pada usia kandungan tujuh bulan. Oleh masyarakat Surakarta dilaksanakan dengan tujuh tahapan prosesi yang didahului dengan penentuan waktu dan ruang ritual. Tujuh tahapan tersebut adalah prosesi Tulak-balak, Sêsajèn, Sungkêman, Siraman, Brojolan, Nyampingan, dan Jangkêpan. Ritual itu disuburkan dalam konteks kealaman, pengalaman sosio-historis, dan kesadaran antropo-kultural. Penggunaan tujuh kain ritual yaitu: enam jarit motif batik klasik Surakarta dan satu kain tenun lurik menjadi penciri prosesi ritual tersebut.
Sebagian besar tahapan prosesinya dilengkapi perangkat simbol lain yang berbasis tujuh. Akumulasi simbol yang bersinergi dengan mantra (doa) dan tahapan prosesi membentuk konstruk ritual yang terpola menjadi ”sistem nilai” ritus. Ritual Mitoni secara kesejarahan dapat mengungkap ‘alam pikiran’ dan ‘alam rasa’ yang mendasari ketradisiannya. Traumatik kehidupan oleh kekejian Cultuurstelsel abad XIX yang diwariskan ke generasi berikut, mengendap menjadi meme budaya masyarakat Jawa dan Surakarta khususnya, dalam bentuk syndrome memetic. Rasionalitas masyarakat Jawa yang mulai mempolakan ritual/upacara tradisinya memasuki abad XX, menunjukkan adanya kesadaran ideologis komunal untuk ‘melepaskan diri’ dari syndrome ketertindasan dan kemelaratan melalui ritual Mitoni.
Batik Jawa dalam ranah kesejarahan mampu menunjukkan ciri-ciri indigenous knowledge dalam tataran seni klasik. Hal itu dapat dijelaskan, ketika enam motif batik tersebut, yaitu: Sidoasih, Sidodadi, Sidomukti, Sidodrajat, Sidomulyo, dan Sidoluhur dimaknai berdasar pola baca Mandala, maka melahirkan pemaknaan tentang enam tuntunan hidup, yaitu cinta kasih, keberadaan, kemapanan, kehormatan, kemuliaan, dan keluhuran. Berbeda dengan ornamentika kain lurik corak Tumbar Pêcah yang bermakna penyatuan antara laki-laki dengan perempuan.
Prosesi ritual Mitoni adalah sistem pengelolaan simbol menjadi “metasimbol”, tahapan prosesi dramatik untuk menjadi “metadramatikal”. Keseluruhannya adalah “sistem nilai” untuk mencapai tataran waktu dan ruang transcenden, di mana simbol dan prosesi mengalami sublime menjadi estetika transcenden yang penuh energi metafisik. Melalui estetika metadramatikal, manusia Jawa berusaha mengendalikan waktu, dan melalui estetika metasimbol berusaha mengendalikan ruang. Ketika waktu dan ruang dalam kesadaran transcenden, maka itulah moment di mana “nilai keyakinan” ritual terbangun. Pada titik tersebut, Waktu dan Ruang Absolut “Diizinkan” menyatu dalam waktu dan ruang ritual. Waktu dan ruang dari masa lampau dan masa depan dihadirkan, dan waktu dan ruang jabang bayi dalam kandungan disatukan dalam “Kesekarangan”. Berbagai dimensi tertembus, bahkan nasib masa depan jabang bayi pun dihadirkan dan ‘ditulis’ dengan energi dari enam motif batik klasik.
Enam motif batik klasik Surakarta adalah enam kehendak yang telah sublime menjadi energi Mandala ‘disemayamkan’ dalam badan metafisik jabang bayi, selanjutnya dikunci oleh lurik sebagai energi penyatuan laki-laki dan perempuan. Terkait dengan traumatik kemelaratan dan ketertindasan, maka enam energi Mandala yang penuh dengan harapan kesuburan dan kemakmuran, serta kehendak kemuliaan dan keluhuran, adalah “keyakinan” telah menjadi energi penuntun hidup di masa depan jabang bayi kelak. Enam batik dan satu lurik dalam ritual Mitoni adalah sumber “energi pembebas” dari trauma masa lampau sekaligus kecemasan tentang masa depan.
Segala yang berkaitan tentang Jawa adalah “energi dan kehendak”, sebuah kekuatan alam dan budaya yang secara naluriah mencari jalan menuju rahayu, sehingga memerlukan “sosok dan penggambaran” untuk menyempurnakan manifestasinya di dunia manusia. Hampir semua ritual tradisi Jawa adalah upaya ‘pengendalian’ waktu dan ruang dalam rangka mencapai “pembebasan”. Artinya, puncak pencapaian “sistem nilai” ritual tradisi adalah “nilai keyakinan” yang membangun “kekuatan pembebas”.
Dunia Nusantara adalah sebuah cagar eksotisme dan benua hilang… yang hanya ada di angan-angan, begitulah kata Denys Lombard. Apa bedanya disebut atau tidak disebut: tradisional atau ketinggalan zaman, jika itu justru menyelamatkan salah satu puncak peradaban manusia yang bernama budaya Jawa?. Bisa jadi, nilai-nilai Jawa lama adalah “energi budaya” yang hampir tanpa tanding, sehingga muncul banyak provokasi untuk membuangnya; jika itu bukan ‘energi’, pastilah para peneliti Asing tidak menghiraukannya sejak berabad lampau. Ada baiknya belajar kepada para pendekar budaya masa lampau, yang berhasil “menjawakan” sekian banyak pengaruh dan ideologi pendatang. Begitulah seharusnya, bukan memodernkan Jawa, tetapi menjawakan modern…