Pada hari Jum’at, tanggal 29 April 2016 pukul 09.00– 11.30 WIB Pascasarjana ISI Yogyakarta menggelar Ujian Terbuka Drs. Royke Bobby Koapaha, M.Sn. Sidang diketuai oleh Dr. Kurniawan Adi Saputro, M.A., Prof. Dr. Djohan, M.Si. sebagai Promotor, Dr. St. Sunardi Kopromotor, dan Dewan Penguji Suka Hardjana, Prof. Dr. Victor Ganap, M.Ed., Prof. Dr. Pande Made Sukerta, S.Kar., M.Si., Prof. Drs. Triyono Bramantyo Pamudjo Santoso, M.Ed., Ph.D., Dr. Fortunata Tyasrinestu, M.Si., Dr. Andre Indrawan, M.Hum., M.Mus. Saudara Drs. Royke Bobby Koapaha, M.Sn. berhasil mempertahankan Disertasi yang berjudul Sonare Tahunduman di hadapan Dewan Penguji sehingga lulus dengan predikat “Sangat Memuaskan” dan menjadi Doktor ke 29 dari PPs ISI Yogyakarta.
Pada disertasi ini diungkapkan bahwa secara umum ada empat gejala utama yang menjadi stimuli munculnya gagasan penciptaan musik, yaitu tidak terlalu berkembangnya pengetahuan musik diatonis khususnya bidang komposisi di lingkungan akademis di Indonesia, minimnya risalah-risalah atau pun tulisan-tulisan seputar komposisi yang dibuat oleh musikolog/komponis di Indonesia, dominannya komposisi musik programa pada skripsi/tesis yang cenderung menjebak pembahasan lebih pada persoalan ekstramusikalnya saja, dan pertanyaan-pertanyaan metodologis pada seputar proses penciptaan karya.
Dari tulisan-tulisan yang ada (skripsi, tesis, buku-buku, dan jurnal) relatif belum ada komponis menguraikan tentang sistem komposisi yang dibuat, apalagi secara rinci. Pada skripsi-skripsi maupun tesis-tesis secara mayoritas lebih diaplikasikan sistem-sistem komposisi dari Barat semata, baik disadari maupun tidak disadari. Kondisi ini tidak lepas dari penguasaan ilmu musik yang sepertinya tidak terlalu berkembang sejak berdirinya SMIND pada 1952. Sebagai perbandingan saja, di Barat sudah banyak komponis yang juga menulis seputar teori musik, wacana musik, bahkan sistem komposisi mereka. Secara acak saja dapat disebutkan seperti Donald Tovey, Heinrich Schenker, Hugo Riemann, Rudolph Reti, Edward Cone, Ludmila Ulehla, Nikolai Rimsky Korsakov, Roger Session, Walter Piston, Gustav Strube, Nicolas Slonimsky, Ernst Krenek, Dusan Bogdanovic, Arnold Schoenberg, Vincent Persichetti, Olivier Messiaen, William Russo, dan masih banyak lagi. Dari sangat minimnya sistem atau konsep komposisi komponis-komponis Indonesia, sementara ini dikenal prinsip atau konsep minimax dari Slamet Abdul Syukur yang menurut hemat penulis masih harus diklarifikasi lebih jauh statusnya sebagai sistem, konsep, atau cara pandang akan cara membuat komposisi. Sudah tentu tidak dinafikan adanya kemungkinan-kemungkinan temuan-temuan baru dalam wilayah konsep atau pun sistem komposisi di Indonesia yang tidak atau belum dipulbikasi oleh komponisnya.
Ada gejala dominasi musik programa yang dibuat oleh para komponis di Indonesia, khususnya di lingkungan akademis, baik jenjang S1, S2, maupun dalam kegiatan-kegiatan pergelaran pada umumnya. Sangat umum pertanggung-jawabannya didominasi oleh deskripsi tentang program atau ceritanya, apakah tentang bermain catur, harta warisan, keindahan pantai, dan sebagainya. Dengan tersitanya perhatian pada aspek programanya, maka pertanggung-jawaban gagasan teoretis elemen-elemen dan prosedur-prosedur musik sering kali hanya berupa konsep-konsep yang umum dan elementer saja. Keterjebakan unsur ekstramusikal pada musik programa yang cenderung menjadi fokus utama komponis dalam penciptaan karya sepertinya menjadi hal yang dianggap lumrah, padahal unsur ekstramusikal ini hanya merupakan satu dari sekian banyak unsur dalam sebuah sistem komposisi.
Pada saat penulis sedang dalam proses pembuatan karya, secara spontan kerap timbul pertanyaan-pertanyaan seperti, “Mengapa nada-nada ini ada dalam diri saya?”, “Seberapa jauh nada-nada ini mewakili saya?”, “Tidakkah nada-nada ini hanya mewakili wilayah sensasi-sensasi “permukaan” saja?”. Berawal dari pertanyaan-pertanyaan ini penulis mencari jawabannya yang salah satunya dengan menelusuri sejarah musik. Dari penelitian awal terhadap sejarah musik dapat diketahui adanya dua tendensi utama, yaitu langsung berkarya di atas pengetahuan-pengetahuan yang sudah dimiliki dan menyusun konsep atau konsep-konsep terlebih dahulu.
Dari empat gejala ini muncul keinginan untuk lebih melibatkan konsep maupun teori-teori musik secara lebih mendalam pada pembuatan karya. Keinginan ini menimbulkan gagasan yang bersifat umum dan gagasan yang lebih partikular. Gagasan umumnya terdapat pada proses penciptaan, yaitu memisahkan antara pembuatan sebagian dari sistem komposisinya dengan pengaplikasian dari sistem tersebut. Sedang gagasan partikularnya ialah membentuk modus sintetis dan konsep progresi akor. Selain alasan yang bersifat pengalaman pribadi, pemilihan materi ini atas pertimbangan bahwa modus dan progresi akor merupakan bagian dari sistem musik yang sangat mendasar. Konsep progresi akor yang dibuat bersumber dari progresi akor yang umum digunakan pada genre musik rock, sedang tangganada sintetis yang dibuat bersumber dari modus slendro dan pelog dalam konteks tonal.
Pada akhirnya, disimpulkan bahwa persoalan utama yang dihadapi penulis dengan mempersiapkan sebagian dari sistem komposisi terlebih dahulu sebelum mengaplikasikan dalam karya ialah menyelaraskan relasi antara sebagian dari sistem komposisi yang dibuat itu dengan kegiatan kreatif penciptaan yang pada dasarnya bebas, “liar”, dan mengalir begitu saja. Adanya kaidah-kaidah baru yang berupa modus sintetis dan konsep progresi akor berarti ada bingkai baru dalam membuat karya. Dengan adanya bingkai baru berarti bekerja dalam batasan-batasan (yang sebagian) baru. Ini dapat menjadi hambatan yang membatasi kreatifitas, termasuk lompatan-lompatan imajinasi yang pada dasarnya berpotensi menghasilkan kebaruan atau temuan-temuan.
Agar dapat optimal dalam berkarya, elemen-elemen dalam bingkai baru ini harus dapat melebur, menjadi bagian dari nilai-nilai estetis pribadi. Walaupun modus sintetis dan konsep progresi akor bukanlah materi baru sama sekali bagi penulis, bagaimanapun juga tetap diperlukan proses untuk membiasakannya dalam berkarya. Hampir separuh dari karya-karya yang ditulis belum dapat diselesaikan, yang pada dasar masalahnya terletak pada konsistensi penerapan konsep-konsep pada bingkai yang dibuat. Sebagian dikarenakan penulisan karya mengalir begitu saja, “tidak terkendali” dan lepas dari bingkainya, sebagian karena faktor selera. Kondisi ini tidak terlepas dari konteks bahwa kegiatan ini berkaitan dengan kegiatan akademis dengan aturan main yang jelas dan terukur.
Memaknai situasi kekinian antara dalam ranah penciptaan dan kajian dapat dikatakan agak berbeda. Memaknai fakta kekinian dalam konteks penciptaan lebih merupakan kegiatan reflektif yang subjektif sehingga cara-cara pengamatannyapun lebih bersifat abduktif. Dalam ukuran penelitian ilmiah, memaknai kekinian yang dilakukan lebih merupakan sebuah hipotesis saja. Dengan cara ini penulis memaknai kekinian sebagai situasi yang sangat dipengaruhi semangat posmodernisme. Dengan bingkai ini penulis dapat menyimpulkan bahwa adanya aplikasi situasi kekinian pada karya-karya penulis. Apikasi-aplikasi tersebut berupa bercampurnya prosedur-prosedur penciptaan yang dapat dinilai sebagai a-historis, juga dialektika antara musik seni dengan musik populer.
Dari aplikasi konsep pada karya yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa modus dan konsep progresi akor yang dilakukan bersifat lentur, berpotensi dapat memfasilitasi berbagai gaya musik. Hal ini dikarenakan dua temuan tersebut merupakan unsur-unsur musik yang paling mendasar. Sama saja seperti tangganada mayor yang dapat diaplikasikan ada gaya Barok, gaya Klasik, atau musik populer pada umumnya. Hal yang berbeda seperti misalnya tekstur heterophoni yang mana perbedaan-perbedaan kaidahnya hanya pada varian-varian saja.
Temuan-temuan yang diperoleh ialah modus sintetis dan konsep progresi akor. Ada 17 modus sintetis yang terdiri dari sembilan modus sintetis sembilan nada dan delapan modus sintetis delapan nada. Modus-modus ini dalam aplikasinya dapat digunakan sebagai unsur melodi maupun harmoni. Konsep progresi akor sebagai konsep yang bersumber dari modus anhemitonis, yang kerap digunakan secara tidak disadari pada lagu-lagu rock. Selain itu ada juga, yang kemungkinan besar, merupakan temuan-temuan yang baru seperti “pengrusakan” struktur dalam relasi unit-unitnya dan konfensi umum suasana mayor-minor (pada Chorale no.2), atau cara “induktif” dalam mengolah kemunculan nada-nada ostinato. Hanya saja hal ini perlu dikaji lebih jauh. Temuan lainnya ialah tabel progresi akor dalam bentuk bola. Formasi progresi dalam bentuk bola ini sangat efektif untuk membantu mengarahkan semua akor menjadi netral. Dengan kata lain, semua akor dapat dijadikan tonika, atau sebaliknya, semua akor dapat tidak dijadikan tonika.
Sebagai penutup disimpulkan dua temuan yang pada dasarnya berupa konsep operasional dalam bentuk definisi:
- Cara Pembentukan Modus Sintetis
Sebuah modus dapat diperoleh melalui dua langkah, yaitu menurunkan modus-modus lain yang bersumber dari sebuah modus asalnya untuk selanjutnya digabung secara keseluruhan serta diseleksi nada-nada yang dianggap dominan untuk dijadikan nada-nada dalam modus yang dibentuk. Langkah berikutnya ialah menurunkan modus-modus lain yang bersumber dari modus hasil dari langkah pertamanya.
- Cara Pembentukan Progresi Akor Berdasarkan Tabel yang Berbentuk Bola
Progresi akor ialah pergantian akor dari sebuah akor ke akor lain dengan kualitas akor yang bersifat opsional dan dengan kemungkinan menggunakan kombinasi interval dari seluruh tingkat kunci modus anhemitonis yang relasi utamanya memanfaatkan kesamaan nada sebagai nada poros.
Syarat utama dalam kegiatan penciptaan ini ialah keluasan dan kedalaman pengetahuan. Hal ini diakibatkan karena ilmu pengetahuan musik diatonis yang perkembangannya sudah ratusan tahun, bahkan lebih dari dua ribu tahun jika dihitung dari akar perkembangannya. Keluasan dan kedalaman pengetahuan ini merupakan tantangan yang relatif berat mengingat bahwa perkembangan ilmu musik relatif belum lama di Indonesia.
Hal lainnya yang dapat menjadi hambatan saat berkegiatan praksis penciptaan ialah terjadinya situasi tarik-ulur antara konsep-konsep yang dibuat dengan faktor selera yang pada dasarnya tidak tersekat-sekat. Intinya ialah tarik-ulur antara nilai-nilai yang sudah dimiliki yang mana berhubungan dengan perasaan, dengan nilai-nilai baru yang dianggap berharga dan diperlukan, yang mana lebih bersumber maupun berhubungan dengan wilayah kognitif.
Menimbang bahwa mau tidak mau seorang komponis juga merupakan sosok mahluk sosial yang berhubungan dengan situasi dan kondisi di mana ia hidup. Agar tidak terjebak pada sikap pandang secara monumental dan antikuarian semata, maka dianjurkan untuk memiliki sikap yang jelas dan kritis untuk pertimbangan-pertimbangan yang tidak sekedar terbatas pada pertimbangan musikal, namun secara lebih luas lagi, termasuk pertimbangan-pertimbangan aspek sosial-budaya.
Pengalaman proses penciptaan yang dilakukan, yaitu membuat (sebagian) sistem komposisinya terlebih dahulu sebelum mengaplikasikannya pada karya kiranya dapat dijadikan alternatif dalam proses berkarya, khususnya dalam konteks akademik. Dengan cara ini ide kebaruan dapat lebih didefinitifkan, juga aspek kognisi dan afeksi lebih dapat dipisah, walaupun pemisahan secara menyeluruh adalah hal yang tidak mungkin.
Manfaat
Penciptaan karya musik ini memiliki berbagai manfaat penting dalam kaitan dengan upaya memajukan pengetahuan penciptaan musik khususnya musik diatonis di Indonesia. Berikut ini adalah berbagai manfaat tersebut: (1). Diperoleh pengalaman penciptaan karya yang relatif baru, khususnya dilihat dari tahapan proses penciptaannya sehubungan dengan penulis selaku pembuat karya. (2). Sistem komposisi dan penciptaan musik yang dibuat dapat menjadi rujukan maupun pembanding untuk digunakan sebagai bagian dari pembentukan gramatika musik bagi komponis-komponis (3). Sebagai stimuli untuk lebih mengintensifikasikan kesadaran teoretis bagi komponis-komponis dan peningkatan penelitian pengetahuan musik diatonis yang selama ini masih kurang berkembang di Indonesia bagi musikolog-musikolog.