Ujian Terbuka Doktor ke 27 Dra. Jamilah, M.Sn.

Ujian Terbuka Doktor ke 27 Dra. Jamilah, M.Sn.

Pada hari Kamis, tanggal 31 Maret  2016 pukul 10.00– 12.00 WIB Pascasarjana ISI Yogyakarta menggelar Ujian Terbuka Dra. Jamilah, M.Sn. Sidang diketuai oleh Prof. Dr. Djohan, M.Si.,  Prof. Dr. Y. Sumandiyo Hadi sebagai Promotor,  Dr. Rina Martiara, M.Hum. sebagai Kopromotor, Dr. Aris Wahyudi, M.Hum, Dr. Sal Murgiyanto, Dr.Lono Lastoro Simatupang, Dr. St. Sunardi, Prof. Dr. AM. Hermien Kusmayati, Prof. Dr. Partini, S.U., Prof. Dr. Djohan, M.Si.. Saudara Dra. Jamilah, M.Sn. berhasil mempertahankan Disertasi yang berjudul Struktur dan Fungsi Pajoge Makkunrai Pada Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan di hadapan Dewan Penguji sehingga lulus dengan predikat “Sangat Memuaskan” dan menjadi Doktor ke 27 dari PPs ISI Yogyakarta  jamilah 16

Pajoge adalah salah satu tari tradisi yang hidup pada masyarakat Bone (suku bangsa Bugis) di Sulawesi Selatan. Masyarakat Bone meyakini bahwa pajoge sudah ada sejak masa pemerintahan Tenri Tuppu Matinroeri Sidenreng, Raja Bone ke-X, seorang raja perempuan yang memerintah selama Sembilan tahun dari tahun 1602 sampai 1611. Disebutkan bahwa pada saat itu, Sang ratu memiliki kelompok pajoge yang telah dibina oleh ayahandanya sendiri, yaitu Lapattawe Matinro-E ri Bettung, Raja Bone ke-IX (1596-1603). Kemudian tari tradisi ini berkembang di Bugis dan sampai sekarang masih hidup dalam masyarakat Bone di Sulawesi Selatan.

Kehidupan pajoge mengalami perubahan bahkan pasang surut, seiring dengan perubahan kondisi sosial-budaya masyarakat Bugis. Meski sempat “menghilang” namun atas semangat dan perjuangan para seniman dan budayawan Bugis, pajoge menggeliat hidup kembali dalam wujud “baru”nya. Fenomena pajoge yang menarik adalah di satu sisi pajoge sedemikian dibutuhkan masyarakatnya, namun di sisi lain keberadaannya tidak diterima secara utuh dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bugis. Pada kenyataannya penari pajoge tidak mendapat tempat yang baik dalam masyarakat Bugis; bahkan sebaliknya, ia justru dipandang hina dan disisihkan oleh masyarakatnya.  Penaripajoge seringkali dipandang sebagai penggoda laki-laki atau perebut suami orang. Pandangan hina itu tidak hanya kepada penari pajoge saja, tetapi juga berimbas pada keluarganya.

Kontradiksi fenomena pajoge tersebut berlangsung terus menerus semenjak kemunculannya. Bahkan dalam sejarah perjalanannya yang seiring dengan sejarah masyarakat Bugis, pajoge tetap dibutuhkan oleh masyarakatnya. Berdasarkan fenomena di atas menunjukkan bahwa pajoge memiliki relasi yang sangat erat dengan masyarakat Bugis. Pajoge tidak bisa terlepas dari masyarakat Bugis, dan sebaliknya masyarakat Bugis sangat membutuhkan kehadiran pajoge. Oleh karena itu pula keberadaan keduanya saling mempengaruhi. Perubahan masyarakat telah memaksa pajoge untuk melakukan perubahan-perubahan guna menyesuaikan dengan nafas zamannya. Hal ini terbukti dari keberadaan pajoge dalam perkembangan dan perubahan masyarakat Bugis. Bahkan meski sempat vakum, tetapi kenyataannya berbagai upaya telah memunculkan kembali pajoge dalam bentuk “baru”nya. Hal demikian semakin membuktikan betapa kuatnya arti penting pajoge bagi masyarakat Bugis di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan.

jamilah  5

Pertunjukan Pajoge Makkunrai sebagai sebuah sistem mengalami perubahan dengan jalan adaptasi untuk bisa bertahan pada masyarakat Bugis. Perubahan dan pergeseran fungsi pertunjukan Pajoge Makkunrai pada umumnya diterima oleh masyarakat Bugis. Meskipun ada hal yang baru dalam pertunjukan tersebut namun tidak terjadi pertentangan terhadap norma-norma yang ada pada masyarakat Bugis. Dalam hal ini, tampaknya masyarakat pemilik pertunjukan Pajoge Makkunrai mampu melakukan penyesuaian, tanpa harus kehilangan hal-hal yang dianggap penting dalam kebudayaan mereka.

Kehadiran Pajoge pada upacara perkawinan merupakan siklus lingkaran. Acara ini menjadi ajang pertemuan bagi pasangan-pasangan baru yang diharapkan menjadi “pasangan ideal”  bagi masyarakat Bugis. Peristiwa perkawinan ini, akan  menjadi awal bagi pasangan berikutnya, demikian seterusnya. Pertunjukan pajoge sebagai bagian dari upacara perkawinan memperkuat struktur nilai yang ada di dalam masyarakat Bugis sehingga pajoge akan tetap diperlukan dan dilestarikan oleh masyarakat penyangganya.

jamilah  13

Cari
Kategori