Pada hari Rabu, 5 Mei 2017 bertempat di Concert Hall Pascasarjana ISI Yogyakarta, berlangsung seminar nasional dalam rangka Dies Natalis ISI ke-33 dengan tema “Seni, Religiositas, dan Kecerdasan Sosial”. Seminar ini sejalan dengan tema yang dibawa sebagai tema besar Dies ISI yakni seni sebagai ekspresi pluralitas dan perdamaian.
Seminar ini berlangsung dengan menghadirkan tiga narasumber yaitu
Narasumber pertama, Dr. Zaenal Abidin (Pemikir bidang Psikologi Politik, Dosen Universitas Padjadjaran, Bandung); mengurai perihal bagaimana merekayasa kecerdasan sosial melalui praktik seni dan pemahaman religiositas. Bagaimana aspek-aspek itu menjadi praktik proses belajar-mengajar di perguruan tinggi maupun di sekolah, dan masyarakat
Narasumner kedua, Gus Yusuf (Ustad, Pemilik/Pengasuh Pondok Pesantren) Pemikiran Keagamaan dan Kebangsaan); diharapkan mengurai pengertian dan praktik religiositas dan relasinya dengan kecerdasan sosial dan kesenian. Bagaimana, dan seperti apa praktik seni yang bertumpu pada pemahaman religiositas, yang dapat menumbuhkan kecerdasan sosial.
Narasumber ketiga, Dr. Mohamad Sobary (Pemikir sosial dan kebudayaan, mantan Ketua LKBN Antara); diharapkan mengurai relasi antara pemikiran dan produk seni dengan kecerdasan/kesalehan sosial. Bagaimana pemikiran dan bentuk-bentuk seni dapat menjadi daya dorong terciptanya keberadaban dan kecerdasan sosial-masyarakat.
Seminar ini mendiskusikan bagaimana religiositas lebih melihat aspek-aspek yang ada dalam lubuk hati, sikap personal yang sedikit lebih banyak misteri bagi orang lain karena menafaskan intimitas jiwa yakni cita rasa yang mencakup totalitas ke dalam pribadi manusia. Dewasa ini kita melihat dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada persoalan sosial, pilitik, ekonomi, agama, dan budaya, sekitar satu dekade terakhir berada dalam situasi turbulensi. Akibat lebih jauh adalah memunculkan ketegangan di sana-sini, yang tak jarang diikuti dengan situasi chaos dan sikap/tindakan distruksi.
Situasi yang sesungguhnya penuh paradoks; yakni tanda-tanda diserukannya kehidupan beragama secara terus-menerus, pembangunan tempat ibadah, tumbuhnya kesetiakawanan, penciptaan seni yang subur di satu sisi, akan tetapi sekaligus beriringan dengan beragam sikap/tindakan intoleransi, fanatisme buta, mudahnya untuk saling mencederai melalui ujaran kebencian, ujaran kebohongan, fitnah, dan sejenisnya.
Sejarah mencatat bahwa keragaman merupakan realitas yang tidak dapat dihindari, baik pluralitas dalam hal agama, etnik maupun budaya masyarakat. Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang majemuk dengan semboyan dalam lambang negara Republik Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”. Masyarakat Indonesia yang dilandasi oleh berbagai perbedaan baik perbedaan meliputi kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan suku bangsa, bahasa, adat istiadat, dan agama.