Promosi Doktor ke 38 Dr. Widodo

Promosi Doktor ke 38 Dr. Widodo

Jum’at 16 Agustus 2017 pukul 09.00– 11.30 WIB Pascasarjana ISI Yogyakarta menggelar Ujian Terbuka Sdr Pujiyanto. Sidang diketuai oleh Prof. Dr. Djohan, M.Si., sebagai Promotor adalah Prof. Dr. Victor Ganap, M.Ed. , dan sebagai Kopromotor, Prof. Dr. Soetarno, DEA.  Kemudian Dewan Penguji  Dr. St. Sunardi, Dr. Royke Bobby Koapaha, M.Sn. Dr. P. Hardono Hadi Dr. GR. Lono Lastoro Simatupang, M.A. Dr. Raharjo Saudara Dr. Widodo berhasil mempertahankan Disertasinya yang berjudul Konsep Laras Dalam Karawitan Jawa di hadapan Dewan Penguji sehingga lulus dengan predikat “Memuaskan” dan menjadi Doktor ke 38  dari PPs ISI Yogyakarta. dan merupakan Doktor di bidang Pengkajian Seni ke 17 dari PPs ISI Yogyakarta.

Dalam Disertasinya Sdr Widodo menjelaskan bahwa Karawitan merupakan bagian penting dalam budaya Jawa. Hampir semua jenis seni pertunjukan tradisi dan upacara ritual adat Jawa menggunakannya sebagai musik pendukung. Bagi masyarakat Jawa, struktur kultural kelompok orang yang berorientasi pada kehidupan masyarakat Jawa multidimensional, karawitan tidak hanya sebagai ekspresi musikal untuk memenuhi kebutuhan rasa hibur tetapi juga rasa sosial, kultural, dan spiritualnya. Nilai-nilai filosofis mendasar yang berlaku dalam budaya Jawa terefleksi dalam budaya karawitannya.

Demikian diungkapkan Widodo, mahasiswa doktoral pada Program Pascasarjana ISI Yogyakarta, yang mempertahankan disertasinya berjudul Konsep Laras dalam Karawitan Jawa, Rabu (16/8), di kampus Jalan Suryodiningratan, Kota Yogyakarta. Tim penguji diketuai Prof. Dr. Djohan, M.Si. dan beranggotakan Prof. Dr. Victor Ganap, M.Ed., Prof. Dr. Soetarno, DEA., Prof. Dr. Rustopo, S.Kar., M.Hum., Dr. St. Sunardi, P. Hardono Hadi, Ph.D., dan Dr. Royke B. Koapaha.

Menurut Widodo yang dosen Jurusan Seni Drama Tari dan Musik Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu, karawitan sebagai produk tradisi lisan budaya Jawa lekat dengan sifat komunal, spontan, terbuka, toleran, lembut, fleksibel, tetapi di lain pihak juga sarat akan norma musikal dan kultural kompleks yang membentuk kesan ngrawit, halus, lembut, rumit. Dilihat dari usianya, mengutip Pradjapangrawit (1990), Widodo menjelaskan, gamelan telah ada sejak sekitar tahun 167 Jawa atau 245 Masehi. “Karawitan telah melewati dinamika keadaan zaman yang panjang dan dinamis,” katanya.

Ia menjelaskan, rasa dalam karawitan Jawa memiliki makna dan kedudukan sangat penting sebagai landasan, orientasi, parameter, bahkan juga saluran estetik untuk mencapai hakikat keindahan musikal dan kulturalnya dalam proses apresiasi seni. Rasa dalam konteks tersebut merupakan puncak persepsi estetik yang menyatukan subjek dan objek seni. Jenis rasa karawitan esensial dan universal pada gending-gending Jawa yang dapat mencakup seluruh jenis, bentuk komposisi, dan karakter musikalnya adalah laras.

Sajian komposisi karawitan Jawa dalam jenis, bentuk, dan karakter musikal apapun dapat menimbulkan rasa laras. Namun rasa laras tidak serta merta dapat disandangkan pada semua sajian jenis, bentuk, dan karakter gending. Pemberian predikat laras berhubungan dengan sajian komposisi karawitan Jawa yang bagian-bagiannya digarap dalam model garap tertentu sehingga karakter musikalnya terekspresi secara kuat dalam penyajian sesuai fungsi pertunjukannya.

Fenomena laras muncul pada beberapa peristiwa karawitan yang dipilih Widodo sebagai objek kajian, yaitu klenèngan Pujangga Laras, penyajian karawitan langsung menghadirkan penggarap kelompok karawitan Pujangga Laras, dengan materi garap gending-gending Jawa klasik; klenèngan dalam media rekam audio komersial produksi Lokananta dan Ira Record menghadirkan penggarap Keluarga Karawitan Studio RRI Surakarta dan kelompok karawitan PKJT bersama ASKI Surakarta dengan materi garap gending-gending Jawa klasik; konser karawitan Jawa dalam Lomba Karawitan Gending-gending Dolanan RRI Surakarta 2013 menghadirkan penggarap kelompok karawitan peserta lomba kategori remaja juara pertama dengan materi garap lelagon dolanan; dan konser karawitan Sindhèn Idol 2012 menghadirkan penggarap vokal sindhènan pesindhèn finalis juara pertama didukung oleh para musisi karawitan profesional gabungan dari beberapa kelompok karawitan ternama di Kota Semarang sebagai penggarap ricikan (instrumen gamelan) gamelan.

Laras dalam Penggunaan Umum

Berdasar penelitian Widodo, laras dan kata-kata bentukannya digunakan oleh masyarakat Jawa dalam banyak konteks, antara lain, panglaras dan ginem raras bawa raos dalam sarasehan; selaras dalam kehidupan sosial; nglaras rasa, pengelolaan rasa batin individu; dan laras sebagai jenis rasa atau suasana indah. Mengutip Susena (2003), Widodo menyatakan, interaksi sosial masyarakat Jawa didasarkan pada prinsip hormat dan rukun demi terwujudnya keadaan selaras.

Ekspresi tutur kata, sikap, dan perilaku yang didasari oleh nilai rukun dan hormat dapat menjamin interaksi sosial dalam kehidupan beragam dapat berlangsung aman, damai, nyaman jauh dari perselisihan. Kewajiban semua elemen masyarakat Jawa untuk menjaga dan mewujudkannya dalam kehidupan sosial mengalahkan kepentingan individu dan prinsip-prinsip regulatif, termasuk hukum positif. Istilah selaras dalam konteks ini berasal dari kata laras, yaitu keadaan sosial aman, nyaman, damai, jauh dari perselisihan dan konflik.

Widodo menjelaskan, Pujangga Laras aktif mengadakan klenèngan hingga sekarang. Mengutip Supanggah (2009), klenèngan juga disebut uyon-uyon, penyajian karawitan mandiri yang tidak terkait dengan fungsinya sebagai layanan seni dan sosial. Klenèngan rutin selapanan (35 hari sekali) dilakukan Pujangga Laras setiap Jum’at Legi malem Sabtu Paing di kediaman Ki Purbo Asmoro, dalang wayang kulit purwa di Kampung Gebang, Kadipiro, Surakarta. Suasana indah sangat terasa ketika menyaksikan klenèngan Pujangga Laras secara langsung. Penyebabnya antara lain: tempat pertunjukan di pendapa luas, aman, nyaman, jauh dari kebisingan; sarana ungkap garapnya perangkat gamelan ageng lengkap dan berkualitas; materi garapnya vokabuler gending Jawa klasik yang telah memiliki karakter dan ukuran rasa estetik tertentu; dan penggarapnya para musisi karawitan senior yang berpengalaman dalam menggarap gending-gending Jawa klasik.

Dalam kasus rekaman klenengan audio komersial, fenomena laras berhubungan dengan suara jalinan komposisi gending yang terdengar melalui media rekam audio. Beberapa kasus garap gending sebagai objek kajian terpilih karena jalinan komposisinya terdengar indah. Penyebabnya, antara lain: materi garapnya komposisi karawitan Jawa klasik yang memiliki karakter musikal dan ukuran estetik karawitan tertentu; kelompok karawitan penggarapnya berpengalaman dalam menggarap gending-gending Jawa klasik; tafsir garap balungan gending dan penerapan aspek-aspek piranti garapnya pada bagian-bagian gending benar sesuai kaidah garap yang berlaku dalam karawitan Jawa gaya Surakarta; dan suara permainan ricikan dan vokal terekspresi jelas dan bersih sesuai karakternya dan proporsional sesuai peran musikalnya; dinamika garap bagian-bagian gending termainkan secara kompak dan kempel atau kohesif dalam satu kesatuan ide-ide garap.

Adapun dalam studi terhadap Lomba Karawitan Gending-gending Dolanan RRI Surakarta 2013, aspek-aspek audio dan visualnya ditata sedemikian rupa sehingga menarik untuk didengar dan dilihat. Konsentrasi pencermatan terarah pada garap gending karya peserta nomor urut tampil 13 yang sejak buka hingga suwuk menarik perhatian penonton yang sebagian besar berasal dari kalangan pelaku dan pecinta karawitan Jawa. Model-model garap pada materi gending wajibnya Lelagon Campursari Slendro Sanga berbeda dengan karya-karya para peserta lainnya.

Dinamis dan Kompak

Unsur-unsur musikal lelagon di atas digarap secara benar, dinamis, kompak, dan menyatu. Kesan riang dan gecul sebagai karakter komposisi, terekspresi sejak buka celuk dibawakan oleh vokalis tunggal putri yang memiliki karakter suara trègèl, kenès. Wiled pada bagian-bagian lagunya dibuat bervariasi dan pada menjelang jeda-jeda lagu diberi tekanan suara naik lalu turun tidak bernada yang menimbulkan kesan manja, nakal, gecul. Karya karawitan tersebut akhirnya terpilih sebagai juara pertama untuk peserta kategori remaja menyisihkan 21 karya karawitan lainnya. Namun demikian bukan berarti model-model garap yang diterapkan pada seluruh bagian komposisi telah sempurna. Karena para penyajinya remaja, maka ekspresi model-model garapnya secara umum terkesan kurang menep, sarèh, dan sumèlèh.

Dalam studi terhadap Sindhen Idol 2012, garap vokal sindhènan gending berupa kombinasi dasar suara, tenik vokal, penggunaan dan pengucapan teks tembang, céngkok dan wiled lagu secara umum memberi kesan indah mengesankan. Fokus apresiasi terarah pada sajian materi wajib sindhènan Jineman Uler Kambang, Pelog Lima oleh finalis nomor tampil 3. Aspek-aspek vokalnya dibawakan secara hampir sempurna, menyatu dengan denamika garap gending sehingga sajiannya terasa indah. Penyebabnya antara lain: dasar suaranya khas, lembut dengan karakter sedikit lanyap, gregel dan vibrasinya halus dan indah; pemilihan vokabuler céngkok sindhènan dan penerapannya pada bagian-bagian gending relatif tepat dengan pemberian wiled bervariasi; penyuaraan nada-nada alur lagu céngkok dan wiled pleng, tidak sasap atau bléro; pengucapan cakepan bentuk wangsalan, parikan, maupun abon-abon benar dan jelas; dan garap vokal lagu menyatu dengan dinamika garap gending.

Widodo menjelaskan, kajian garap gending-gending Jawa dalam beberapa peristiwa penyajian karawitan berikut rasa karawitan yang ditimbulkan mengantarkan pada sejumlah kesimpulan. Laras, menurut Widodo, merupakan jenis rasa, suasana atau kesan musikal dan kultural karawitan indah, enak, nyaman mendalam, menyeluruh, dan mengesankan. Dengan demikian, laras mengandung unsur mat, lega, betah, adhem, ayem, tentrem, jinem, sengsem, marem yang muncul dari sajian gending-gending Jawa yang digarap secara benar, jelas, merata, berimbang, dinamis, kompak, dan menyatu dalam satu kesatuan ide-ide garap. “Semua itu membentuk pusat-pusat keseimbangan ‘sempurna’ yng disebut titik berselaras,” ujar Widodo. (*)

Cari
Kategori