Pada hari Jum’at, tanggal 08 Agustus 2016 pukul 10.00– 12.30 WIB Pascasarjana ISI Yogyakarta menggelar Ujian Terbuka Asril, S.Kar.,M.Hum. Sidang diketuai oleh Prof. Dr. Djohan, M.Si. , Prof. Dr. Victor Ganap, M.Ed. sebagai Promotor, Dr. St. Sunardi Kopromotor, dan Dewan Penguji Prof. Dr. Pande Made Sukerta, M.Si., Prof. Dr. PM. Laksono, Dr. Sal Murgiyanto, GR. Lono Lastoro Simatupang, M.A., Ph.D., Kurniawan Adi Saputro, M.A., Ph.D., Dr. Royke Bobby Koapaha, M.Sn.
Saudara Asril, S.Kar, M.Hum.. berhasil mempertahankan Disertasi yang berjudul Tabuik: Pertunjukan Budaya Hibrid Masyarakat Kota Pariaman di hadapan Dewan Penguji sehingga lulus dengan predikat “Sangat Memuaskan” dan menjadi Doktor ke 30 dari PPs ISI Yogyakarta.
Tabuik adalah pertunjukan budaya hibrid masyarakat Pariaman yang terbentuk dari unsur budaya Syi’ah, Sunni, dan Minangkabau. Pertunjukannya menyajikan beberapa penggalan peristiwa kematian Husain (cucu Nabi Muhammad) yang diwujudkan dalam bentuk arak-arakan, ‘dramatisasi’ kedukaan, kegembiraan, kegarangan, perkelahian antar pendukung Tabuik, pelarungan tabuik ke laut, dan secara khusus atraksi mengoyak dua artefak tabuik yang difantasikan sebagai peti mati Husain. Pertunjukan ini didukung oleh gandang tasa; secara khusus musik ini berperan penting membangun suasana kegembiraan, pemicu kegarangan, dan perkelahian. Pertunjukan Tabuik dilakukan dalam rentang waktu sejak awal hingga paruh pertama bulan Muharam setiap tahun.
Tabuik berasal dari ritual kedukaan Islam Syi’ah yang dibawa oleh bekas tentara Inggris dari Sipahi (Sepoy) Tamil penganut Syi’ah, dari Bengkulu ke Pariaman pada awal abad ke-19 (1825-1830), mengalami hibridisasi (percampuran) dengan Sunni dan budaya Minangkabau pada awal abad ke-20 (1908-1909). Selanjutnya, masyarakat Pariaman mengembangkan bentuk dan muatan pertunjukan Tabuik menjadi dua: tabuik pasa dan tabuik subarang. Pada sekuen/bagian pertunjukan tertentu, keduanya diposisikan berlawanan hingga perkelahian antarpendukung kedua Tabuik. Sejak 1980-an, Tabuik dijadikan penunjang utama kepariwisataan Pariaman oleh pemerintah setempat yang berorientasi hiburan atau tontonan dengan melibatkan berbagai genre seni pertunjukan lainnya.
Tidak banyak yang menyadari secara lebih dalam, bahwa pertunjukan Tabuik terbentuk dari ketiga unsur budaya di atas dan disusupi oleh kapitalisme pariwisata yang mengakibatkan ia berubah drastis meninggalkan prinsip ritual awalnya: kedukaan. Sosok Husain turut tereduksi secara tajam hingga nyaris hilang sama sekali. Pertunjukan Tabuik berdimensi kegembiraan dan hiburan menjadi lebih utama. Di sinilah pentingnya penelitian ini dilakukan.
Dengan menggunakan teori pertunjukan (performativitas) dan hibriditas (percampuran) serta beberapa konsep dan disiplin antropologi, budaya, dan sejarah. Ruang ambivalensi (percampuran ambiguitas) Tabuik hibrid mengalami berbagai perlakukan dan tekanan dari situasi politik yang berkembang di Pariaman dan kebijakan pemerintah pada masa lalu, sejak masa Kolonial Belanda hingga masa awal Orde Baru. Tabuik dicurigai sebagai penyebab berbagai kerusuhan, hingga pertunjukannya sering dihentikan. Situasi ini diperparah, ketika Tabuik menjadi arena kontestasi berbagai kelompok, partai, ideologi politik, dan bahkan dengan pemerintah, sehingga terjadi konflik atau ‘perang’ antarideologi politik. Pada 1970-an hingga 1980-an Tabuik dihentikan pertunjukannya.
1980-an menjadi peristiwa bersejarah bagi Tabuik, ketika pemerintah Pariaman membuat kebijakan Tabuik sebagai subjek utama pariwisata. Melalui pendekatan materialistik (menghilangkan akar budayanya) dominasi pemerintah mengalahkan masyarakat dan menaklukkan Tabuik. Pertunjukan Tabuik mengalami perubahan pada muatan dan tujuan pertunjukannya dari ritual asalnya dalam bentuk kedukaan dan tangisan, berubah menjadi pertunjukan kegembiraan. Tabuik mengalami elaborasi menjadi pertunjukan kolosal dan megah. Tabuik menjadi artefak utama yang dipertunjukkan sebagai ikon pertunjukan kegembiraan: hoyak tabuik. Masyarakat Pariaman menjadikan pertunjukan Tabuik menjadi pesta Hoyak Tabuik: pesta kegembiraan. Pertunjukan Tabuik menjadi pembalikan situasi atas suasana duka dalam ritual yang dilakukan oleh penganut Syi’ah pada awal masuk ke Pariaman. Dimensi ritual Tabuik tergerus secara tajam, sebaliknya dimensi pertunjukan dan hiburan menguat pula secara tajam. Ritual menjadi kepura-puraan saja.
Dari aspek dimensi sosial dan budaya, Tabuik menjadi perekat dan ruang mempertemukan dan mempersatukan berbagai unsur dan kelompok yang berbeda paham dan pandangan ideologinya dalam masyarakat Pariaman menjadi satu masyarakat yang kolektif. Mereka tidak lagi mengedepankan perbedaan ideologi. Mereka lebur menikmati Tabuik. Tabuik menjadi identitas bersama dan ruang meluapkan kegembiraan, konflik dalam pertunjukannya yang dipicu oleh musik perkusi gandang tasa, hanya sebagai ‘bumbu’ dan bagian dramatik serta dinamika pertunjukan saja. Peristiwa pertunjukan Tabuik menjadi warisan budaya yang selalu dipertunjukkan setiap tahunnya pada bulan Muharam.
Meskipun demikian, pertunjukan Tabuik juga menyisakan ketegangan berupa, tarik menarik antara masyarakat pelaku/pemilik dengan pemerintah Pariaman; hegemoni dan resistensi, dominasi dan subordinasi akibat perubahan dan hegemoni pemerintah yang lebih sering mengalahkan masyarakat pemilik. Masyarakat menjadikan peristiwa pertunjukan Tabuik sebagai ruang untuk mengekspresikan praktik ritual dan pertunjukan serta media protes kepada pemerintah dan pihak lain atas tekanan dan perubahan pada Tabuik. Bentuk-bentuk protes digelindingkan melalui peristiwa pertunjukan, seperti perkelahian, karena mereka tidak memiliki kekuatan berhadapan secara langsung dengan pemerintah.
Penelitian ini bertujuan mengungkap dan menganalisis proses hibridisasi dan pertunjukan Tabuik hibrid dari budaya pembentuknya serta cara orang Pariaman memperlakukan dan mempertunjukkannya. Penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kajian pertunjukan (seni) khususnya, karena pertunjukan Tabuik yang berdimensi ritual ternyata tidak bisa pula dilepaskan dari berbagai genre seni pertunjukan.