Kun Adnyana Raih Doktor Pengkajian Seni Rupa

Kun Adnyana Raih Doktor Pengkajian Seni Rupa

Riset Seni Lukis Bali 1930-an ke Belanda dan Amerika

Dosen seni rupa ISI Denpasar Wayan Kun Adnyana meraih Doktor bidang pengkajian seni rupa di pascasarjana ISI Yogyakarta, setelah berhasil mempertahankan disertasi berjudul Pita Maha: Gerakan Sosial Seni Lukis Bali 1930-an dalam ujian promosi Doktor, Jumat (9/10) di Concert Hall PPs ISI Yogyakarta. Kun berhasil menjawab dan menegaskan capaian disertasinya dengan lancar dan jernih di hadapan 9 orang penguji dan memperoleh Gelar Doktor dengan Predikat Sangat Memuaskan . Para penguji datang dari berbagai perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, yaitu: Prof Djohan (Ketua penguji, ISI Yogyakarta), Prof Soeprapto Soedjono (promotor, ISI Yogyakarta), Dr St. Sunardi (kopromotor, Universitas Sanata Dharma), Prof. Heru Nugroho dan Prof PM. Laksono (Universitas Gadjah Mada), Dr M. Agus Burhan, Dr Suastiwi Atmodjo, Dr Suwarno Wisetrotomo dan Dr Suprianto (ISI Yogyakarta).

????????????????????????????????????Kun yang juga kurator seni rupa menjelaskan, bahwa di tahun 1930-an di Ubud, Bali telah berlangsung gerakan sosial berbasis praktik seni lukis yang melibatkan beragam agen seni di dalam arena apresiasi, kompetisi, dan praktik sosial yang kompleks. “Selama ini belum ada ketegasan identifikasi tentang posisi pelukis Bali, komponen puri Ubud, dan pelukis Barat (Walter Spies dan Rudolf Bonnet) dalam membangun sejarah seni lukis Bali di tahun 1930-an. Sejarah acap menuliskan peran pelukis Barat lebih dominan, tanpa mengkaji dan menganalisis kepemilikan modal masing-masing agen yang terlibat dalam peran sejarah tersebut”, terang penulis kritik seni rupa di berbagai media cetak nasional itu.

Ideologi estetika seni lukis Bali 1930-an, dalam disertasi Kun, ditegaskan sebagai hasil pencerapan dan temuan pelukis Bali yang terlibat dalam praktik seni mulai medio 1920-an, seperti Gusti Lempad, Ida Bagus Kembeng, Tjokorde Oka Gambir, AA Sobrat, Ida Bagus Made Poleng, I Ngendon, Gusti Kobot, I Reneh, Gusti Deblog, dan lain-lain. Sementara posisi Spies dan Bonnet sebagai pembimbing dan maesenas seni bersama patronase Puri Ubud, yakni Tjokorda Raka Sukawati dan Tjokorda Agung Sukawati. “Semua agen memiliki modal simbolik dan budaya yang spesifik dan habitus pembaruan, sehingga yang awalnya hanyalah praktik penciptaan seni lukis menjadi gelombang besar gerakan sosial dengan beragam praktik seni, apresiasi, dan juga kemampuan untuk mengakses apparatus ideologi Negara (lembaga Kunstkring di berbagai kota di tanah air, dan galeri seni internasional). Gerakan ini secara resmi diberi nama Pita Maha sejak 29 Januari 1936”, urai Kun.

Kun telah melakukan penelitian secara total, hingga harus ke Belanda untuk bisa mengakses arsip dan data Pita Maha, yaitu di Niewenkamp Foundation Leiden, dan Tropen Museum Amsterdam. Sementara untuk menajamkan pemahaman teori sosiologi seni dan kritik seni, peraih penghargaan Visiting Artist/Scholar dari Western Michigan University ini mengikuti sandwich selama satu semester di Michigan, Amerika Serikat.

Dengan penelitian yang panjang dan mendalam, akhirnya Kun menemukan rumusan bahwa gerakan sosial seni itu bisa lahir karena bekerjanya keseluruhan potensi modal (simbolik, budaya, dan ekonomi) dipadu habitus kebaruan di dalam arena seni yang kompleks. Sementara menyangkut ideologi, Kun merumuskan bahwa Pita Maha melahirkan konsep estetika berupa: spiritualisme (ekspresi personal rasa ketuhanan, meta-narasi (tafsir atas makna wiracerita), dan jiwa merdeka (lahirnya subjek pencipta seni, dan “hak monopoli artistik” oleh para pelukis Pita Maha.

????????????????????????????????????

Cari
Kategori