Kritik Djoko Pekik pada Lembaga Peradilan

Kritik Djoko Pekik pada Lembaga Peradilan

 

pekik

 

Lukisan Pawang Kesurupan karya Djoko Pekik (sumber: Suara Pembaruan/Hendro Situmorang)

 

Jakarta – Buruknya lembaga peradilan di Indonesia, ternyata pernah dilukiskan oleh seniman senior Djoko Pekik. Lewat karyanya yang berjudul”Pawang Kesurupan”, diatas kanvas cat minyak ukuran 150 x 2.000 cm, ia menggambarkan kebobrokan lembaga hukum di Tanah Air ini pada 2012 tahun lalu.

“Uniknya pada lukisan Pawang Kesurupan ini menceritakan sejumlah koruptor dalam persidangan yang justru dilakukan pelaku hukum sendiri, dimana kondisi hukum di Indonesia yang kacau balau. Para elit penguasa hukum ini, haus dan lapar akan kekuasaan termasuk uang dan wanita,” tegasnya di Galeri Nasional, Jakarta, Selasa (8/10).

Dalam lukisannya, terdapat seorang hakim menelan seekor ayam hidup-hidup dan makanan lainnya serta bermain wanita didalam persidangan. Hal ini menunjukkan betapa bobroknya hukum di Tanah Air selama ini yang mabuk kekuasaan.

Anehnya, secara kebetulan kasus korupsi dalam persidangan terjadi baru-baru ini pada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) nonaktif yang diduga menerima suap pada kasus pilkada, padahal lukisan itu dibuat Pekik pada 2012.

“Saya tidak tahu ada apa dengan lukisan saya, apalagi titisan dalam hidup. Saya jarang baca buku. Mungkin ini terjadi kebetulan saja, karena apa yang saya rasakan bahwa negeri ini penuh persoalan korupsi, ya saya lukis. Seniman tidak boleh membiarkan hal yang jelek terjadi begitu saja. Disinilah peran seniman mengkritisi sikap negeri ini untuk mengubahnya,” ungkap dia.

Hampir semua karya seni Djoko Pekik mengandung pesan yang menghentak dan menohok pemerintah, termasuk pihak swasta yang berkuasa agar tidak berbuat seenak-enaknya. Hal itu dituangkannya lewat karya seni yang berkarakter kuat.

Contoh lainnya adalah lukisan berjudul “Susu Raja Celeng” berukuran 139 x 180 cm, (1996) tentang penguasa negeri saat itu yang sedang berkuasa. Setelah itu, Presiden Soeharto pun lengser.

Selain itu, ada juga lukisan berjudul “Kali Brantas” dan ”Bengawan Solo” (2008) yang menggambarkan pembunuhan massal korban 1965 di Kali Brantas, Jawa Timur dan Sungai Bengawan Solo.

Rencananya, pelukis senior Djoko Pekik akan menggelar pameran tunggal lukisan dan patung bertajuk Zaman Edan Kesurupan di Galeri Nasional Jakarta pada 10-17 Oktober 2013. Pameran karya-karyanya yang dipamerkan merupakan periode 1964 hingga 2013 dan digelar seiring dengan 60 tahun perjalanan seni Pekik.

Pria kelahiran Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, 1938 itu akan memamerkan 29 lukisan dan tiga patung. Ia mengaku dirinya hanya membawa sebagian karya yang ada di galeri rumahnya di daerah Bantul, Yogyakarta, seperti “Berburu Celeng,” “Kali Brantas,” “Berburu Pekik,” “Berburu Istana,” “Memanah Matahari” dan lainnya.

“Selama saya hidup dalam berkesenian, saya masih berkarya dengan tema-tema sosial yang membela terhadap rakyat. Hingga saat ini saya tidak pernah membuat lukisan yang bagus-bagus seperti pemandangan keindahan apalagi tentang wanita cantik. Kebanyakan lukisan saya tentang buruh, petani kecil dan sesuai dengan keadaan sebenarnya yang terjadi, baik itu korupsi, pemberantasan, pembunuhan dan lainnya,” ucap dia.

Dari 29 lukisan yang akan dipamerkan, hanya dua karya karya terbaru yang dibuat pada 2012, yakni cat minyak diatas kanvas yang berjudul ”Pawang Kesurupan”, 150 x 2000 cm dan ”Ledek Gogik”, 150 x 250 cm.

Terkait tema “Zaman Edan Kesurupan”, menurutnya, memang sekarang zaman sudah edan. Manusia sudah lupa dan  berbuat sesukanya. Ia juga mengkritik banyaknya perusahaan asing kapitalis yang menguasai Tanah Air.

“Parahnya, kita justru terlena dibuat mereka, padahal semua itu dibangun lewat utang-utang negara yang sebenarnya menggerogoti kita. Tanggung jawab apa Indonesia kedepan. Saya hidup tinggal sejengkal lagi. Ini adalah peran bersama,” ungkapnya.

Sumber : http://www.beritasatu.com/nasional/143264-kritik-djoko-pekik-pada-lembaga-peradilan.html

Cari
Kategori