Generasi ”silam” perlu melakukan pertobatan dengan menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini akan semakin kokoh karena sikap respek antarwarga, yang ditumbuhkan sejak dari keluarga hingga sekolah.
Sebutan ”tunasejarah” sesungguhnya sejenis tudingan yang bersifat generik, ketika bercakap dengan orang-orang muda (usia 19-25), antara lain ketika berada di ruang kuliah. Ketika membicarakan topik tertentu, dengan menyebut sejumlah kata atau nama kunci, berharap mereka dalam lingkaran kelas itu langsung nyambung dan tersambung dengan peristiwa serta makna tertentu.
Misalnya, menyebut nama Affandi, Oesman Effendi, S Sudjojono, Basoeki Abdullah, Hendra Gunawan, Rusli, Dullah, Nashar, Zaini, Bagong Kussudihardja, Hamka, Chairil Anwar, Rendra, Teguh Karya, Chaerul Umam, Suka Harjana, Harry Roesli, Djaduk Ferianto, dan sederet nama legenda lainnya; atau menyebut Mooi Indie, Persagi, Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) Indonesia, abstrak ekspresionisme, formalisme, seni media baru, pop art, seni publik, seni politik, dan lainnya, dengan harapan, sesuai minat masing-masing, mereka dapat menjelaskan siapa, apa, mengapa, bagaimana, di mana sosok, tokoh, dan peristiwa itu.
Akan tetapi, keinginan itu pada umumnya tidak terjadi, dan semakin jauh dari harapan. Jika ditanya, mereka tidak dapat mendeskripsikan dengan baik, tidak pula merasa bersalah. Untuk memecah kebuntuan, mereka mencari dulu data dan faktanya, agar percakapan dapat dilanjutkan.
Sejarah akan lebih menarik jika dipraktikkan untuk mengetahui, mempercakapkan, dan memaknai (menganalisis atau setidaknya mengerti) sosok dan peristiwa, yang kecil maupun yang besar. Bukan tentang menghafal nama dan peristiwa, tetapi memahami mengapa mereka bisa begitu, mengapa peristiwa itu bisa terjadi, berikut latar dan konteksnya.
Generasi tunasejarah
Cerita ringkas di atas, saya jadikan dasar untuk menuding tumbuhnya generasi tunasejarah. Sebutan ”tuna” dalam konteks ini, juga tidak berarti ”buruk”, tetapi lebih sebagai penanda generik suatu lapis generasi atas sikapnya terhadap sejarah, yang saya sebut sebagai generasi ”tunas” (tunasejarah), untuk dibandingkan dengan generasi lampau (selanjutnya saya tulis ”silam”) yang sering melempar tudingan itu.
Bagi generasi ”tunas”, mempelajari sejarah ’hanya’ mengenali sosok, tokoh, dan peristiwa, tanpa kreativitas mendorong/menciptakan atmosfir untuk mempercakapkan—menelisik latar, memahami ambiguitas, perdebatan, melihat ketidaksempurnaan, lalu keberanian beropini—sungguh tidak begitu berguna. Karena tidak memperkaya pemahaman, pengetahuan, dan sikap kritis dalam menanggapi peristiwa.
Dengan kata lain diperlukan kreativitas lebih dalam mengajarkan sejarah, termasuk sejarah seni/kesenian. Keyakinan sebagian sejarawan (seni) yang bertumpu pada kelengkapan dokumen (data), tanpa kemampuan mengajak untuk mempercakapkan sejarah secara kritis, kontekstual, dan menyenangkan, sesungguhnya memiliki andil besar dalam menciptakan generasi ”tunas”.
Mikke Susanto, penulis resensi yang juga sebagai kurator, tengah memberi informasi kepada Presiden Joko Widodo dan tamu lainnya tentang lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada saat pembukaan Pameran Koleksi Istana Presiden RI ”17/71 Goresan Juang Kemerdekaan” (1 Agustus 2016).
”Apa gunanya belajar sejarah seni, jika materi dan cara mengajarnya hanya gitu-gitu saja? Untuk apa bagi karier saya?” kata mahasiswa saya suatu ketika. Pertanyaan itu menyasar dua hal; pertama, terkait pilihan, keluasan, kedalaman atau kekhususan materi, dan kreativitas pengajar (yang gitu-gitu aja); kedua, terkait konteks belajar sejarah dengan kehidupan kekinian.
Sesungguhnya generasi ”tunas” sedang menciptakan sejarahnya sendiri, keluar dari bayang-bayang generasi ”silam”. Mereka adalah tunas-tunas baru, dengan sejarahnya sendiri; sejarah masa kini, dengan tantangan yang jauh berbeda, dengan segala kemudahan dan kesulitannya sekaligus, digelontor beragam informasi, tak punya trauma dengan ideologi tertentu.
Karena itu, generasi ”tunas” memiliki selera, pilihan profesi, cara hidup yang jauh berbeda dengan generasi ”silam”. Sekadar menyebut contoh; Heri Pemad (ArtJog), Bambang Paningron Astiaji (Asia Tri), Putu Sutawijaya (Sangkring Art Space), Greg Wuryanto, dkk (Jogja Creative Society), Fauzie As’ad, dkk (Soboman 219), Arief Yudi (Jatiwangi Art Factory), Tisna Sanjaya (Proyek Seni Lingkungan; Cigondewah dan Citarum), Bramantyo Prijosusilo (Festival Seni Rakyat Kebo Ketan), dan lainnya, adalah para pelaku sejarah, yang menciptakan ekosistem kebudayaan melalui seni, kreatif, dan festival.
Mereka tidak menghabiskan waktu untuk meratapi masa lalu, apalagi membuatnya menjadi dagangan politik. Mereka menggerakkan banyak orang untuk memaknai kehidupan dengan lebih positif, kreatif, dan produktif.
Pengunjung melihat-lihat lukisan yang ditampilkan dalam Pameran Sastra Rupa ”Gambar Babad Diponegoro” di Jogja Gallery, Yogyakarta, Jumat (1/2/2019) malam. Pameran yang berlangsung 1-24 Februari itu 51 lukisan yang dibuat berdasarkan kisah-kisah yang ada di dalam Babad Diponegoro.
Generasi lampau dan trauma sejarah
Mengapa lahir generasi tuna sejarah? Salah satu penyebabnya adalah generasi ”silam”, yang ngotot menyodorkan kebenaran sejarah versi mereka, tanpa membuka ruang percakapan. Contoh yang paling hangat adalah seruan dan ajakan ’berkala’ (disertai ujaran pembelaan) untuk nonton bareng film ”Pengkhianatan G-30-S/PKI” oleh sejumlah tokoh masyarakat yang diterkam fobia.
Orang-orang itu tak pernah menimbang (atau justru sadar untuk memperdaya) orang-orang muda, generasi anak cucu mereka, yang rentan oleh gelontoran informasi palsu, fitnah, dan membuatnya menjadi sosok antidialog.
Sekelompok ”silam” berhasil menanamkan ”trauma sejarah” pada orang-orang muda yang sesungguhnya tak memiliki pengalaman langsung seperti yang dialami mereka yang ”silam” itu. Mereka tidak membuka ruang percakapan terhadap film itu, atau kasus/karya seni lainnya; misalnya mendiskusikan hubungan antara seni dan realitas, fakta dan fiksi, sejarah dan fiksi, seni dan politik, imajinasi dan ideologi, dan seterusnya. Karena itu, terjadi sengkarut kekacauan berpikir, sekaligus sikap rabun taklid: akibatnya mudah menstigma komunis, pornografi, kafir, munkar, sesat, dan lainnya.
Trauma direproduksi, percakapan ditutup, dan liyan dipojokkan, seolah menjadi tabiat generasi ”silam”. Kelompok ”silam” yang sudah banyak mendapatkan ”keuntungan” (posisi, jabatan, ekonomi) harus menyadari resiko yang berbahaya semacam itu, karena merupakan bibit disintegrasi.
Apalagi, sengaja memicunya, untuk kepentingan kekuasaan dan kelompoknya semata. Generasi ”silam” perlu melakukan pertobatan, dengan menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini akan semakin kokoh karena sikap respek antarwarga, yang ditumbuhkan sejak dari keluarga hingga sekolah.
Pergumulan kebudayaan dan demokratisasi
Pergumulan kebudayaan merupakan upaya mengerti problematika hidup dan kehidupan dalam semesta raya ini, kemudian berupaya mengambil peran yang berguna bagi sesama serta liyan. Memasuki ruang pergumulan, artinya semua pihak bersiap melakukan percakapan, melempar dan menerima kritik, menyodorkan dan menerima solusi, kemudian bergerak bersama dalam peran serta kapasitas masing-masing.
Setiap pihak bukanlah sosok yang utuh, karena itu penting memiliki kesadaran untuk saling menggenapi. Dengan demikian, maka akan tercipta atmosfir saling respek, tak mudah taklid sempit, tak mudah menstigma atau mengklaim secara sepihak. Kehidupan demokrasi tak mudah dibangun dan ditegakkan di tengah sosok-sosok yang dibesarkan oleh gelontoran informasi palsu dan bohong.
Demokratisasi tak akan tercipta di tengah masyarakat yang keras hati, merasa paling benar, merasa menjadi si pemilik surga, tanpa sikap respek pada liyan. Tidak mudah pula dibangun, di tengah – meminjam istilah Francis Fukuyama (dalam Identitas, 2020) ”superioritas kelompok”—yang sering memaksa kehendaknya atas nama politik identitas.
Pekerjaan rumah kita bersama adalah; 1). Solusi kreatif dalam pengajaran sejarah; bagaimana membuka ruang percakapan untuk melihat dan mempercakapkan sejarah dari berbagai sudut pandang. Saya (mungkin juga kita semua) sepakat tentang ”Urgensi Mata Pelajaran Sejarah” bahwa ”…sejarah adalah imajinasi kebangsaan yang dibangun dari bacaan terhadap masa lalu, ia tampil sebagai referensi di kehidupan kekinian, sekaligus bahan proyeksi untuk berjalan menuju masa depan” (Sumardiansyah Perdana Kusuma, Kompas, 2 Oktober 2020).
Namun perlu dirumuskan lebih rinci dan operasional terkait dengan ”dimensi pengajaran”, sekaligus menantang kreativitas guru/dosen sejarah. 2). Berikutnya adalah upaya semua pihak untuk memperpendek jarak antargenerasi (antara yang ”silam” dengan yang ”tunas”), sambil terus mencari titik sambungnya. Betapa menyedihkan menyaksikan sejumlah orang dari generasi ”silam” berakrobat demi mengejar kekuasaan, harus mempedaya dan menumpulkan generasi ”tunas”, apalagi sambil menciptakan kekacauan.
Generasi ”tunas” yang kritis, akan tetap melacak akar, agar seperti pohon, mereka tumbuh kokoh, rindang, penuh buah, berguna bagi banyak makhluk hidup di sekitarnya. Seperti karya seni, yang memberikan godaan dan sentuhan hangat pada jiwa, agar terus ingat nilai-nilai kemanusiaan.
(Suwarno Wisetrotomo, Ketua Program Studi Seni Program Magister, Pascasarjana ISI Yogyakarta)
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2020/10/17/generasi-tuna-sejarah-dalam-pergumulan-kebudayaan/?utm_source=bebasakses_kompasid