BATARA KALA MENGANTARKAN INDRO MENJADI DOKTOR ke 42

BATARA KALA MENGANTARKAN INDRO MENJADI DOKTOR ke 42

 

Batara Kala yang berbentuk menyeramkan itu bagi orang Jawa sudah sangat dikenal selalu menebar ancaman. Tak hanya anak sukerta yang merasa was-was, tapi setiap orang yang melakukan tindakan menyimpang pun akan dibuat takut olehnya. Batara Kala tidak hanya hadir dalam Ruwatan Murwakala, tetapi juga bergentayangan menyusup ke dalam narasi-narasi peringatan bagi anak kecil yang dianggap melanggar pantangan dalam kehidupan sehari-hari. “Jangan duduk di tengah pintu, jangan menyisir di meja makan, jangan tidur di tengah hari, jangan ini, jangan itu”. Semua peringatan itu selalu diiringi dengan ancaman maut: dimakan Batara Kala. Tampaknya narasi-narasi itu menghinggapi Indro di masa kecil yang tinggal di Purbalingga, kota kabupaten di kaki Gunung Slamet.

Tidak main-main, memori masa kecil yang awalnya hanyalah dongeng menjelang tidur itu terus hidup dan mengancam. Saat ini seakan hendak menyelami ancaman itu, Indro menjadikan Batara Kala sebagai obyek penelitian. Disertasi Indro Moerdisuroso Purwodo yang berjudul “Budaya Visual Wayang Kulit Batara Kala Gaya Yogyakarta, Kajian Tata Visual dan Estetika Sublim,” meneliti sejumlah Batara Kala yang berpola bentuk wayang kulit gaya Yogyakarta, berupa boneka wayang kulit, sampul buku, lukisan, dan ilustrasi pawukon. Pelbagai bentuk Batara Kala itu disandingkan untuk dibaca perbedaan karakteristik partisipan-tergambarnya, terutama anatomi (carrier) dan atribut kedewaan, dengan pola bentuk standar koleksi Keraton sebagai pusat kekuasaan budaya Jawa, khususnya Yogyakarta. Dengan cara ini dihasilkan spektrum yang terdiri dari enam lapis perbedaan. Hasil penglasifikasian ini kemudian dianalisis dengan teori tata visual (visual grammar) Gunther Kress dan Theo van Leeuwen (2006), serta direfleksikan dengan teori estetika sublim (Umberto Eco, 2007; Jean-Francois Lyotard, 1991).

Dosen Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta ini menyimpulkan penggunaan pola bentuk wayang kulit Batara Kala pada aneka media memiliki tiga fungsi: sebagai pernyataan bentuk pemikiran,  sebagai pernyataan merengkuh atau menjauhkan, dan sebagai pernyataan waktu bukan profan. Adapun bentuk artistik menyeramkan Batara Kala yang auranya terasa mengancam sekaligus meneduhkan itu bagi Indro MP merupakan presentasi dari kekuatan mahabesar yang nir-inderawi. Wujudnya ‘kosong,’ hanya energi dahsyatnya yang tampak mampu mengatur dan mengacaukan alam semesta. Berdasarkan penelitian ini disarankan agar karakter wayang difungsikan sebagai representasi identitas keindonesiaan untuk menyikapi fenomena budaya visual hari ini yang berkembangbiak dengan cepat ke berbagai sendi kehidupan. Indro MP telah berhasil mempertahankan pendapat itu di hadapan Tim Penguji Program Pascasarjana ISI Yogyakarta: Prof. Dr. Djohan, M.Si. (Ketua Penguji, ISI Yogyakarta); Prof. Drs. Soeprapto Soedjono, M.F.A., Ph.D. (Promotor, ISI Yogyakarta); Dr. St. Sunardi (Kopromotor, Universitas Sanata Darma); Prof. Dr. Kasidi, M.Hum. (ISI Yogyakarta); Prof. Dr. M. Agus Burhan (ISI Yogyakarta); Dr. H. Suwarno Wisetrotomo, M.Hum. (ISI Yogyakarta); Dr. Prayanto Widyo Harsanto, M.Sn. (ISI Yogyakarta); Dr. G.R. Lono Lastoro Simatupang, M.A. (Universitas Gadjah Mada) dan Kurniawan Adi Saputro, PhD. (ISI Yogyakarta) pada Kamis 21 Desember 2017, dan berhasil menjadi Doktor dengan Predikat Kelulusan “Sangat Memuaskan” dan sekaligus menjadi Doktor ke 42 lulusan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta

Cari
Kategori