Promosi Doktor ke 34 Drs. I Wayan Suardana, M.Sn.

Promosi Doktor ke 34 Drs. I Wayan Suardana, M.Sn.

Rabu, 25 Januari 2017 pukul 10.00– 12.30 WIB Pascasarjana ISI Yogyakarta menggelar Ujian Terbuka Drs. Setyo Budi, M.Sn. Sidang diketuai oleh Prof. Dr. Djohan, M.Si. , sebagai Promotor adalah Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc, dan sebagai Kopromotor,Dr. Ir. Yulriawan Dafri, M.Hum. Kemudian Dewan Penguji Prof. Dr. M. Agus Burhan, M.Hum., Prof. Drs. M. Dwi Marianto, M.F.A., Ph.D., Dr. G. Budi Subanar, SJ., Dr. Edi Sunaryo, M.Sn., Dr. H. Suwarno Wisetrotomo, M.Hum., Dr. I Ketut Muka, M.Si., , Saudara Drs. I Wayan Suardana, M.Sn. berhasil mempertahankan Disertasi yang berjudul Fenomena Judi Tajen Dalam Karya Kriya di hadapan Dewan Penguji sehingga lulus dengan predikat “Sangat Memuaskan” dan menjadi Doktor ke 34 dari PPs ISI Yogyakarta. dan merupakan Doktor di bidang Penciptaan Seni ke 21 dari PPs ISI Yogyakarta.

suardana5

Saudara I Wayan Suardana mengambil tema untuk Disertasi tentang Judi Tajen karena Belakangan ini banyak upacara yang dijadikan tameng untuk menyelenggarakan tajen dan dimaknai sebagai Tabuh Rah. Masyarakat memahami bahwa tajen dan tabuh rah adalah sama, pada hal keduanya mempunyai fungsi dan makna yang berbeda. Tabuh rah adalah penaburan darah binatang ayam pada para bhuta kala agar mereka tidak mengganggu, sedangkan tajen adalah sabung ayam yang murni sebagai permainan judi. Dalam perjalanannya, Tajen mengalami dinamika yang cukup dinamis sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat pendukungnya. Tajen tidak hanya sebagai hiburan, tetapi merupakan media ekonomi untuk mengumpulkan dana pembangunan dan peluang bagi beberapa masyarakat untuk mencari penghidupan. Menjadi sebuah paradoks, ritual yang suci selalu dijadikan media judi tajen bagi para bebotoh untuk mencari kesenangan. Tajen menimbulkan dampak sosial sangat serius, yaitu bukan saja melanggar norma-norma hukum, tetapi juga norma agama dan sosial lainnya, serta merusak nilai-nilai moral dan mental masyarakat.

Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Bali, perasaan pencipta menjadi agoni, gelisah, cemas, dan khawatir (khaos) pada berbagai penyimpangan yang ada, terutama penyalahgunaan pelaksanaan tabuh rah yang sakral menjadi permainan yang bersifat judi tajen dan sulit untuk dihapus. Fenomena ini sangat penting untuk dikaji secara mendalam dan holistik, agar permasalahannya dapat dipecahkan dan Bali tidak kehilangan taksu dan kesuciannya.

Setelah diamati secara mendalam, kenapa tajen sangat sulit untuk diberantas di kalangan masyarakat Bali. Hal ini disebabkan di samping karena telah berkembang sejak lama dan menjadi tradisi masyarakat, ternyata tajen merupakan simbolik kehidupan manusia Bali. Di balik pertarungan ayam, peristiwa ini juga diikuti sederetan makna yang menyertai yaitu kekuasaan, kejantanan, keangkuhan, kekayaan, dan egoisme. Selain itu manusia memiliki beberapa naluri yang telah melekat dalam dirinya yang sulit dihilangkan dan akan terpupuk kembali apabila mediumnya dan kesempatannya terbuka kembali.

Dalam sebuah pertarungan segala sesuatunya akan dipertaruhkan, tidak saja harkat dan martabat, jati diri, kejantanan, tetapi juga segala kekayaan yang dimilikinya. Kekuatan, keperkasaan,  dan kesombongan yang tidak terkalahkan akan muncul dalam suatu pertarungan hidup dan mati, karena dalam pertarungan terselip harga diri dan nasib, yaitu kekalahan atau kemenangan.

Kebiasaan bebotoh untuk berjudi sangat sulit untuk dihilangkan karena bebotoh sebagai manusia Homo Complexus yaitu Homo Demens (selalu berpikir yang tidak masuk akal), Homo Ludens (suka bermain), Homo Imaginarius (suka berimajinasi), Homo Consumans (sangat konsumtif), Homo Poeticus (suka berpuisi), dan Homo Esparan (suka menghayal). Bebotoh juga  sebagai insan manusia yang selalu berkehendak untuk berkuasa, yang memunculkan sifat belog ajum yaitu bodoh, tetapi gengsi dan bergaya, ingin disanjung,  ingin diladeni, dan ingin dihormati.

????????????????????????????????????

Dilatabelakangi oleh sikap Jengah (motivasi), Yadnya (berbuat), Bhakti (tulus iklas), dan Taksu (kekuatan suci),  pencipta mengangkat fenomena ini sebagai sumber ide penciptaan karya Kriya sebagai pertanggungjawaban akademik dan seniman kriya. Karya yang diciptakan adalah kriya seni, dalam bentuk tiga dimensional. dengan menggunakan kayu trembesi sebagai bahan utama dan dikombinasi dengan material lainnya seperti  logam dan bambu. Karya yang diciptakan ukurannya bervariasi dan  menggunakan teknik pahatan, konstruksi, dan  kenteng.????????????????????????????????????

Penciptaan Karya ini memiliki kritik sosial dan pesan moral pada masyarakat bebotoh serta mengandung nilai satyam (kebenaran), Ҫiwam (kesucian), dan Sundharam (keindahan), dengan harapan dapat menjadi sesuluh (cerminan) bagi masyarakat Bali, terutama dalam melakukan aktivitas adat dan agama agar sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Segala upacara agar dilakukan dengan tulus iklas, murni, suci, dan tidak dikotori oleh perbuatan yang bersalah dan berdosa.????????????????????????????????????

Dengan terciptanya karya ini diharapkan mendapat apresiai yang tinggi dari masyarakat dan para pencinta seni  sebagai sebuah karya kriya yang inovatif, ekspresif,  dan penuh gagasan.  Penciptaan ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan karya kriya ke depan sebagai studi komparatif dalam penciptaan karya lebih lanjut yang lebih bervariatif.

Teraktualisasinya semua karya ini melalui proses yang cukup panjang, baik pada tataran konsep penciptaan maupun maupun pada proses pengerjaannya. Diawali dengan rasa jengah untuk beryadnya berbuat sesuatu dengan rasa bhakti yang tulus iklas untuk menjaga taksu Bali yang murni dan suci. Dari empat langkah ini yang tertuang dalam “Catur Laksana” (jengah, yadnya, bhakti, dan taksu), melahirkan karya seni yang mengandung nilai kebenaran (satyam). Kesucian (Ҫiwam), dan keindahan (sundharam) yang tertuang dalam “Tri Karya”, dan tervisualisasi dalam konsep “Dwi Rupa” yaitu Bentuk (sekala) dan isi (niskala), menuju pada yang tunggal yaitu wilayah yang kosong.????????????????????????????????????

Sudah saatnya masyarakat Bali untuk introspeksi diri dan tidak terlena pada gemerlapnya pariwisata dan era Globalisasi yang kompetitif. Saat ini masyarakat Bali menghadapi persaingan yang luar biasa terutama dalam peluang kerja dan kesempatan untuk berusaha. Masyarakat Bali diharapkan untuk kembali pada jati dirinya sebagai seorang yang tangguh, ulet, pekerja keras, dan bertanggung jawab. Segala sesuatu harus tetap diperjuangkan, dan jangan menyerah sebelum berusaha untuk merebut peluang yang ada. Masyarakat Bali jangan gengsi untuk melakukan sesuatu sehingga peluang direbut oleh orang lain.

????????????????????????????????????

Cari
Kategori